Rubrik: Buka Mata
Sumber: eramuslim.com, Oase Iman
Penulis: muhammadrizqon.multiply.com
Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu dari sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga. Kaum muslimin menggelarinya dengan ‘Asy Syahidul Hayy’ (Syahid yang hidup), dan Rasulullah menjulukinya dengan ‘Thalhah Al Khair’ (Thalhah yang baik), atau ‘Thalhah Al Jaud’ (Thalhah yang pemurah), dan ‘Thalhah Al Fayyadh’(Thalhah yang dermawan).
Setiap nama julukan itu mempunyai latar belakang kisah sendiri-sendiri. Adapun nama julukan ‘Asy Syahid Hayy’ (Syahid yang hidup), diperolehnya dalam perang Uhud. Ketika barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah, perajurit muslim yang tinggal di dekat beliau hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari kaum Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke sebuah bukit, tetapi beliau dihadang oleh ratusan kaum musyrikin yang hendak membunuhnya.
Maka bersabda Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka, maka dia menjadi temanku kelak di surga.””Saya, ya Rasulullah!” kata Thalhah.”Tidak! Jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu!” Rasulullah memerintahkan. ”Saya, ya Rasulullah!” kata seorang sahabat Anshar. ”Ya! Engkau!”kata Rasulullah.
Perajurit Anshar itu maju melawan prajurit musyrikin, sehingga prajurit Anshar gugur karena membela nabinya. Rasulullah terus naik, tetapi dihadang pula oleh tentara musyrikin. Kata Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka ini?”
”Saya, ya Rasulullah!” kata Thalhah mendahului yang lain-lain. ”Tidak! Jangan engkau! Engkau tetap di tempatmu!” kata Rasulullah memerintah. ”Saya, ya Rasulullah!” kata seorang prajurit Anshar. ”Ya! Engkau! Maju!” kata Rasulullah.
Prajurit Anshar itu maju melawan tentara musyrikin, sehingga dia gugur pula. Demikianlah seterusnya, setiap Rasulullah meminta pahlawannya untuk melawan tentara musyrikin, Thalhah selalu mengajukan diri, tetapi senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkannya tetap di tempat, dan memberi peluang prajurit Anshar, sehingga sebelas orang prajurit Anshar gugur semuanya menemui syahid. Maka tinggallah Thalhah seorang.
Kata Rasulullah kepada Thalhah, “Sekarang engkau, hai Thalhah!”
Dalam perang itu, Rasulullah mengalami patah taring, kening dan bibirnya luka, sehingga darah mengucur di muka beliau, dan beliau kepayahan. Karena itu Thalhah menerkam musuhnya dan menghalau mereka sekuat tenaga, supaya mereka tidak dapat menghampiri Rasulullah. Kemudian Thalhah kembali ke dekat Rasulullah, lalu dinaikkannya beliau sedikit ke bukit, dan disandarkannya ke tebing. Sesudah itu kembali menyerang musuh, sehingga dia berhasil menyingkirkan mereka dari Rasulullah.
Abu Bakar dan Abu Ubaidillah bin Jarah ketika itu sedang berada agak jauh dari Rasulullah. Ketika mereka tiba untuk membantu Rasulullah Saw, beliau berkata, “Tinggalkan aku! Bantulah Thalhah, kawan kalian!”. Mereka menjumpai Thalhah penuh dengan lumuran darah yang mengalir dari seluruh tubuhnya. Di tubuhnya terdapat tujuh puluh sembilan luka bekas tebasan pedang, atau tusukan lembing, dan lemparan panah. Pergelangan tangannya putus sebelah, dan dia terbaring di tanah dalam keadaan pingsan.
Rasulullah bersabda sesudah itu mengenai Thalhah, “Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi sesudah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!”. Demikian pula bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar Shiddiq, maka Abu Bakar berkata, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah keseluruhannya.”
Begitulah kisahnya, sehingga Thalhah dijuluki ‘Asy Syahidul Hayy’(Syahid yang hidup). Adapun sebabnya bergelar ‘Thalhah Al Khair’ atau ‘Thalhah Al Jaud’, salah satu latar belakang kisahnya adalah sebagai berikut:
Thalhah adalah pedagang besar. Pada suatu sore hari dia mendapat untung dari Hadhramaut kira-kira 700 000 dirham. Malamnya dia ketakutan, gelisah dan risau. Maka ditanya oleh istrerinya Ummu Kaltsum binti Abu Bakar Shiddiq, “Mengapa Anda gelisah, hai Abu Muhammad, Apa kesalahan kami sehingga Anda gelisah?”
Jawab Thalhah, “Tidak! Engkau adalah isteri yang baik dan setia! Tetapi ada yang terfikir olehku sejak semalam, seperti biasanya pikiran seseorang tertuju kepada Tuhannya bila dia tidur, sedangkan harta ini bertumpuk di rumahnya.”
Jawab isterinya, Ummu Kalthum, “Mengapa Anda begitu risau memikirkannya. Bukankah kaum Anda banyak yang membutuhkan pertolongan Anda. Besok pagi bagi-bagikan uang itu kepada mereka.”
Kata Thalhah, “Rahimakillah. (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!). Engkau wanita beroleh taufiq, anak orang yang selalu diberi taufiq oleh Allah.” Pagi-pagi, dimasukkannya uang itu ke dalam pundi-pundi besar dan kecil, lalu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Dikisahkan pula, seorang laki-laki pernah datang kepada Thalhah bin Ubaidillah meminta bantuannya. Hati Thalhah tergugah oleh rasa kasihan terhadap orang itu. Lalu katanya, “Aku mempunyai sebidang tanah pemberian Uthman bin 'Affan kepadaku, seharga 300.000 dirham. Jika engkau suka, ambillah tanah itu, atau aku beli kepadamu 300.000 dirham.”
Kata orang itu, “Biarlah aku terima uangnya saja.” Lalu Thalhah memberikan kepadanya uang sejumlah tiga ratus ribu.
---
Kisah Thalhah memberikan banyak pelajaran dan hikmah, utamanya berkait dengan rahasia sebab-sebab beliau termasuk seorang sahabat yang dijamin dengan surga. Agaknya, beliau pantas mendapatkan surga karena beliau telah membelinya dengan harga yang tidak murah. Lihatlah pengorbanan beliau ketika berusaha menyelamatkan Rasulullah Saw dalam perang Uhud itu. Sungguh merupakan suatu pengorbanan jiwa yang luar biasa. Luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing, dan lemparan panah sebanyak 79 titik itu dan putusnya pergelangan tangan sebelah adalah saksi penyerahan jiwa beliau secara total untuk membela Rasulullah Saw dan meraih keridhoan-Nya.
Demikian halnya dengan pengorbanan harta yang beliau persembahkan. 700.000 dirham (Rp 24,5 Milyar, dengan asumsi 1 dirham=Rp 35.000) adalah bukan jumlah yang sedikit. Beliau pun dengan ringan menyumbang secara spontan sebesar 300.000 dirham (Rp 10,5 Milyar) ketika ia tergugah membantu orang yang datang kepadanya. Saya tidak bisa membayangkan sumbangan sebesar apa yang beliau persembahkan untuk perjuangan Rasulullah Saw yang dicintainya.
Di hadapan kita kini terbentang suatu bulan mulia bernama Ramadhan. Setiap orang beriman mendambakan keridhoan dan surga-Nya sebagaimana bunyi doa yang sering terlantunkan: “Allahumma inna nas-aluka ridhoka wal jannah wa na’udzubika min sakhotika wan naar”. Boleh jadi, yang patut menjadi renungan kita adalah adakah pantas kita mengharapkan surga sementara pengorbanan kita di dalam bulan Ramadhan begitu minim dan teramat sedikit. Di bulan Ramadhan kita banyak tidur dan bermalas-malasan atau justru larut dalam kesibukan dunia yang melalaikan. Kita kedodoran mengkhatamkan 30 juz Al Quran. Kita hadir di masjid hanya di hari-hari awal dan akhir dari Ramadhan saja. Kita melewatkan keberkahan waktu sahur dengan tayangan TV dibanding memperbanyak qiyam dan berdoa. Dan kita lebih suka menerima daripada memberi termasuk memberi makanan kepada orang-orang yang berpuasa. Sungguh andai keimanan kita dibanding dengan Sahabat Thalhah, jauh dan teramat jauh.
Semoga kisah Thalhah bisa melejitkan potensi diri untuk berkorban secara maksimal di bulan Ramadhan. Ramadhan tidak memiliki nilai apapun dan tidak akan berdampak apapun andai setiap diri tidak mau berkorban menghidupkan detik-detik harinya.
Semoga kita termasuk orang yang bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba, sehingga kita benar-benar meraih taqwa dan ampunan-Nya. Amin ya Rabbal’alamin.
Waallahua'lam bishshawaab
0 komentar:
Posting Komentar